Perekonomian lesu yang tak kunjung bangkit
Depok Netizen | Di beberapa platform media sosial banyak beredar postingan dan video keluhan atau curhat dari para pelaku usaha terutama para pengusaha kecil yang mengeluhkan penjualan yang menurun drastis atau bahkan bisa dikatakan "nyungsep". Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi perekonomian mulai tidak baik-baik saja. Terutama paska atau setelah pandemi covid hingga kini tahun 2024.
Diawali ketika wabah atau pandemi covid mulai melanda awal Februari 2020. Masa pandemi hingga 2 (dua) tahun lamanya benar-benar mengakibatkan banyak sektor ekonomi seperti hidup segan mati tak mau, atau bahkan tumbang. Banyak terjadi PHK atau yang dirumahkan sementara tanpa kepastian. Pengurangan jam kerja atau pemberlakuan WFH atau Work From Home juga ternyata punya imbas yang tak kecil.Kios-kios mal banyak yang tutup, dijual atau disewakan |
Setelah pandemi mereda bahkan berakhir, kondisi perekonomian yang dirasakan oleh masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah bukannya membaik justru semakin kurang baik. Kebangkitan ekonomi yang digadang-gadang pemerintah juga belum menampakan hasil yang signifikan.
Secara sederhana, lesunya perekonomian kita saat ini karena:
1. Daya beli rendah
2. Lebih banyak penjual dari pada pembeli
3. Perputaran uang di masyarakat menengah ke bawah sangat rendah.
Ketiga hal di atas sepertinya saling berkaitan satu sama lain. Daya beli rendah bisa dikarenakan penghasilan yang pas-pasan sementara harga-harga kebutuhan melonjak lumayan tinggi. Karena penghasilan pas-pasan, kemudian mencari tambahan penghasilan dengan berdagang. Ditambah banyaknya orang-orang pekerja formal yang terkena PHK, lalu beralih menjadi pedagang karena sulit mencari pekerjaan formal lainnya. Para lulusan SMA yang tak bisa melanjutkan kuliah dan juga lulusan pendidikan S1 yang tak beruntung mendapatkan pekerjaan formal, kemungkinan besar sebagian dari mereka memilih usaha berdagang. Disini lah terjadi pertambahan jumlah penjual/pedagang yang semakin besar.
Perputaran uang di masyarakat menengah ke bawah sangat rendah, ini sangat mungkin disebabkan karena masyarakat kalangan middle to high alias masyarakat menengah atas yang melakukan transaksi ekonominya juga di-circle (lingkungan/kalangan) mereka sendiri.
Banyak orang yang beranggapan bahwa lesunya perdagangan konvensional atau perdagangan offline karena adanya marketplace atau penjualan online yang dianggap sangat berpengaruh terhadap penjualan offline. Ada juga yang berpendapat bahwa maraknya perjudian online (judol) juga berpengaruh terhadap lesunya perekonomian. Para pedagang retail juga mengeluhkan tidak adanya regulasi perdagangan dimana produsen bisa menjual langsung produknya ke konsumen akhir yang menyebabkan rantai penjualan terpotong menjadi produsen langsung ke konsumen.
Bagaimana dengan perdagangan online?
Tak sedikit para pedagang offline yang kemudian beralih ke online karena banyak faktor, salah satunya yang tidak punya kios atau toko sendiri dan harus menyewa sedangkan harga atau biaya sewa yang terus naik. Tentu saja ini berakibat juga pada semakin bertambah banyak jumlah penjual online.
Bisa dikatakan saat ini penikmat dari penjual online adalah para produsen dan pedagang yang punya modal besar, karena mereka mampu membayar iklan misalnya atau endorse produk.
Bagaimana dengan Kota Depok?
Setali tiga uang dengan kondisi daerah lain, karena lesunya perekonomian ini tidak bisa dipungkiri keadaannya memang merata di Indonesia. Lihat saja di beberapa sentra perbelanjaan seperti ITC Depok, D'Mall, Detos, DTC, pasar tradisional, kios pinggir jalan, banyak yang tutup atau tempat usahanya terdapat tulisan "Dijual" atau "Disewakan". Lihat juga para pedagang kaki lima atau di dalam komplek perumahan atau kampung kampung yang ramai dagangannya tapi sepi pembelinya.
Yah semoga saja keadaan ini lekas berlalu 🤲
Hampir semua daerah sepertinya memang lesu, entahlah kalau Bali yg jadi salah satu pusat pariwisata dunia
BalasHapus